PILEG PERTARUHAN EKSISTENSI

internet
by Admin NHC


Teringat dengan salah satu fragmen dari perang Badar. Yaitu pada do’a yang dipanjatkan Rasulullah sebelum bertempur. “Ya Allah menangkanlah pasukan ini, karena kalau tidak Engkau menangkan, Maka Engkau tak ada lagi yang menyembah selama-selamanya”.  

Do’a yang dahsyat bukan? Ini tentu bukan do’a yang memaksa. Tetapi menandakan sebuah pertaruhan maha hebat. Karena yang “dipertaruhkan” seolah adalah Allah sendiri. Logikanya memang masuk akal, kalau pasukan Badar binasa, siapa lagi yang akan melanjutkan risalah? Bukankah Muhammad itu Rasul terakhir?

Ya, Rasul juga manusia, siapa yang tidak tegang menghadapi situasi Badar. Semuanya serba tidak ideal, baik dari perencanaan, perbekalan, jumlah pasukan maupun pengalaman. Sebuah Mission Impossible dengan pertaruhan yang teramat besar. Adanya perang Badar memang semata karena perintah dari Allah.

Nah, kalau pileg 2014 adalah pertaruhan eksistensi, apakah kita merasa tegang sebagaimana Rasulullah juga mengalaminya di medan Badar? .atau justru kita masih tenang-tenang saja?

Kembali ke pertanyaan di awal, apakah pileg sama dengan perang? Berikut opini saya. Anda boleh setuju atau tidak.
Saya hanya melihat dari satu sudut. Dari aspek hasil dan legalitas. Bahwa pileg dan perang itu adalah sama substansinya. Hanya beda bentuk. Karena hasil dari pileg itu sama dengan hasil perang Badar atau perang penaklukan lainnya. Hasilnya adalah diperolehnya kekuasaan. Bahwa bagi Sang Pemenang, akan diakui sebagai penguasa yang sah. Sistem sosial yang berlaku seperti itu. Nah, bukankah pemenang pemilu juga sah sebagai penguasa. Sama-sama diakui dan  legal?

Sekarang, karena beda zaman, memilih angkat senjata justru menjadi aneh, tindakan bodoh dan bunuh diri.  Karena itu hanya tindakan kriminal, ilegal dan hanya akan dicap terorisme dan dimusuhi semua orang.

Maka, jangan heran kalau demostran di Mesir waktu melawan penggulingan Presiden Mursi memilih aksi damai, walau mampu angkat senjata. Walaupun korban berjatuhan. Bahkan jumlahnyapun ribuan. Bukan karena ingin dapat simpati. Karena mengangkat senjata itu hanya akan menumpahkan darah kaum muslimin jauh lebih banyak lagi. Itulah salah satu makna yang saya fahami dari statemen pemimpin pergerakan di Mesir, bahwa “aksi damai lebih kuat dari peluru”.

Tetapi, kapanpun dan dimanapun ada peristiwa perang, di sana akan ada diantaranya yang duduk-duduk saja. Bahkan diantaranya berasal dari kader inti. Zaman Nabi sendiri ada Ka’ab bin Malik dkk yang shahabat utama Nabi. Yang tidak jadi berangkat karena menunda-nunda. Ka’ab bisa saja memberi alasan yang bisa meyakinkan Nabi. Karena ia dikenal tajam dalam berargumentasi . Pasti akan menemukan alasan pembenaran ketidakberangkatannya itu. Kalau kita termasuk yang duduk-duduk saja saat yang lain pontang-panting mengais suara, kemudian ditanya, saya yakin akan keluar dalil aqli dan/atau naqli. Tetapi Ka’ab memilih pasrah dan kemudian dihukum isolasi sosial yang terkenal dan diabadikan di Qur’an itu.

Kemudian, dalam berperang berlaku situasi yang sama, bahwa lawan kita melakukan hal yang sama dengan kita. Mereka berperang sebagaimana kita berperang. Mereka juga beramal, berkorban, dan totalitas. Bahkan berani berhutang dan berspekulasi demi ambisi politik pribadi.

Mereka juga terlihat percaya diri. Bahkan yang namanya anehnya pun pede abis. Pasang baliho di mana mana. Tempel stiker di banyak tempat. Justru yang ahlul haq di barisan keadilan sejahtera malah masih ada yang tidak pede.

Akhirnya seperti dalam kerjabakti, akan senantiasa ada yang hanya nyabut rumput sekadarnya. Padahal yang dituntut adalah kerja maksimal. Padahal pileg juga bukan main bola. Tidak ada yang boleh jadi penonton, semuanya harus turun memberi kontribusi maksimal. Baik CAD maupun non CAD.


Ya, karena status pertaruhan itu, idealnya memang semua kader pada tegang seperti tegangnya Rasulullah di medan Badar. 


............



*NHC : Nurul Hidayati Center

Komentar

Postingan Populer