MEMBONGKAR MENTAL BLOCK


by : Nurul Hidayati, S.Pd.I



Beberapa waktu lalu, seorang Aleg akhwat dari DPRD Kota Bekasi diundang ke Karawang. Guna pembekalan para CAD akhwat. Acara difasilitasi oleh Bidang Perempuan. Sepertinya ada kegamangan di kalangan akhwat tentang bagaimana menjalanai amanah sebagai CAD. Memang ada satu aleg akhwat di Karawang, tetapi rupanya belum bisa dijadikan benchmark. Sama-sama masih perlu belajar.

Kegamangan di kalangan akhwat memang masih menyisakan Pe Er yang harus diselesaikan. Hal ini terkait dengan urgensi keberadaannya sebagai (Calon) Anggota Dewan. Apakah sebatas melengkapi persyaratan formal 30% harus memenuhi kuota. Ataukah terdapat hal substansial yang dengannya keberadaan akhwat di parlemen menjadi urgent.

Gagal faham terhadap hal ini tentu berakibat tidak maksimalnya peran dan amanah yang dijalankan. Akhirnya hanya sekedar numpang lewat di daftar calon aleg. Dalam beberapa kasus, memang nyata adanya. Bahwa diantara akhwat yang tercantum di CAD, sama sekali tidak ingin jadi.

Bila diuraikan, ketidaksemangatan menjalani amanah CAD bagi seorang akhwat bisa berangkat dari:

Pertama : Belum memahami peran akhwat di dunia politik. Masih ada kegagapan dalam memahami peran sebagai CAD. Nggak kepikiran jadi politisi. Merasa bukan dunianya. Lebih pas di rumah saja mengurus suami dan anak-anak. Kalaupun kegiatan di luar paling ikut halaqah, ngisi taklim, atau mengajar.

Peran politik akhwat memang relatif masih asing. Walaupun peran-peran non domestik sebenarnya sudah banyak dijalani akhwat. Misal menjalankan bisnis. Atau berkarir di birokrasi dan perusahaan. Termasuk banyak akhwat yang jadi guru. Maka hemat saya perlu kiranya DPD memfasilitasi tastqif khusus tentang akhwat dan politik.

Ketika saya googling, ada satu tulisan akhwat Depok yang coba saya kutip di sini :
" Saat Khalifah Umar bin Khattab memberi khutbah yang isinya anjuran untuk membatasi jumlah mahar (mas kawin) maka mendengar itu, Shofiyyah binti Abdul muthalib segera bangkit mengkritisi ucapan Umar tersebut.
Tetapi ada pagar membentang yang menghalangi peran aktif perempuan di parlemen. Tidak melulu bersumber dari partai politik. Tapi ada pada diri kaum perempuan itu sendiri.

Agenda Caleg perempuan bukan cuma menuntut eksistensi keterwakilan. Tak hanya berjuang untuk membela harkat dan martabat kaumnya saja.Tapi perempuan sebagai pemilik negeri ini berkewajiban ikut menyelesaikan semua problem kehidupan: ekonomi, politik, sosial budaya dan keamanan.

Perempuan yang paling tahu dalam mengurai masalah yang terkait langsung dengan dunianya: anak dan keluarga. Maka sudah seharusnya mereka berpartisipasi aktif dalam mengambil kebijakan untuk itu. Selain itu, politisi perempuan juga harus sadar betul untuk menjaga keseimbangan yang proporsional disemua perannya yang kian beragam. Sebab peran-peran itu adalah amanah.

Berkhidmat di institusi keluarga sebagai basis perjuangan, juga amanah yang tidak bisa dianggap remeh. Politisi perempuan harus mampu menciptakan lembaga keluarga sebagai organisasi pendidikan politik. Sebab dari sinilah semua berawal " Sumber : klik di sini 

Kedua : Tidak Ada Niat. Karena tidak ada niat, maka tidak ada rencana. Maka, ia hanya berjalan sekedar menjalankan amanah. Mengalir alami saja seperti aliran sungai Citarum. Hanya menggugurkan kewajiban. Asal ada suara, itu sudah cukup.

Ketiga : Tidak ada back up finansial, baik dari dirinya maupun terutama dari pihak suami sebagai qowam.
Padahal kalau diurai, bahwa kalau bicara tidak ada keinginan, hampir semua CAD tidak ada yang mempunyai keinginan. Secara dhohir tidak ada yang menyatakan keinginannya untuk dicalonkan.
Bahwa tidak ada back up, hampir semua CAD tidak ada yang memiliki finansial yang lapang. Semuanya serba terbatas, baik yang baru calon maupun incumbent.

Semuanya juga memang tidak ada pilihan. Harus sami'na wa atho'na. Tetapi, di sinilah kualitas kekaderan kita diuji. Hal yang membedakan kualitas antara kader satu dan lain adalah kesigapan dalam merespon, kecepatan belajar, tanggung jawab, serta kreativitas dalam upaya mengatasi segala keterbatasan.
Dari pemaparan Ibu Rina, beberapa point penting bisa dijadikan bahan acuan.

Pertama, bahwa menurut beliau kebanyakan peran aleg memang peran-peran yang maskulin. Peran itu lebih cocok untuk ikhwan. Bagaimana tidak? untuk melakukan lobi-lobi politik, perlu kesigapan maksimal. Seorang akhwat jelas akan kerepotan. Karena dinamikanya tidak hanya di gedung dewan. Terkadang harus meeting di luar kota. Malam-malam lagi. Ternyata, sekarangpun, saat masih caleg, silaturahim malam hari sudah harus dijalani. Karena yang akan disilaturahimi ada di rumahnya malam hari.

Kedua, walaupun kerja-kerja aleg itu kebanyakan maskulin, tetapi ada sisi tertentu yang kalau diisi oleh akhwat bisa memberi warna khas dan mencipta sinergi yang hebat. Itulah emosi akhwat yang relatif lebih peka dan lebih empati. Khas seorang perempuan. Bila diarahkan dengan benar akan bagus efeknya. Akan terjalin sinergi dengan aleg ikhwan. Karena akhwat sepertinya relatif lebih bisa sabar mendengar. Maka, beliau menyediakan diri untuk menerima telpon bisa dari semua dapil. Tak pernah mematikan hape. Nah, saat follow up dari aktivitas mendengar itu, aleg ikhwan akan sangat relevan ketika eksekusinya. Ketika mengharuskan kerja-kerja yang maskulin.

Ketiga, beliau ternyata tak bisa menjalankan peran sebagai CAD tanpa dukungan suami. Kebetulan suaminya juga PNS. Kebetulan juga peran yang dijalankan adalah sebagai driver setia Sang Isteri. Ketika ke Karawangpun, sang suami menjadi Pak Sopir-nya. Dari ngobrol-ngobrol itulah saya sekit tahu dinamika seorang aleg akhwat.

Nah, ikhwan-ikhwan yang istrinya jadi CAD, amanah untuk istri Antum adalah amanah untuk Antum juga sebagai qowam. Semangat ya! Jangan justru mematikan semangat Sang Permaisuri. Dukunglah ia menjalani amanahnya itu. Umat ini, wa bil khusus para kader akan jadi saksi atas kesungguhan menjalani amanah itu.




Karawang, 02102013

Komentar

Postingan Populer