Kenapa Harus Silaturahim?

Oleh : Nurul hidayati, S.Pd.I
Ketua Bidpuan DPD PKS Karawang
Caleg Dapil 6



Kalau menuruti emosi, sungguh iri melihat spanduk dan baliho rekan-rekan sesama Caleg yang bertebaran di sana-sini. Memasang wajah narsis nan sumringah. Tidak jauh beda dengan abege yang up-load foto di Facebook. Saya membayangkan biayanya saja sudah pusing. Biaya untuk bernarsis ria di pinggir jalan dan batang pohon gak berdosa itu sudah bisa ditebak. Sepertinya beliau-beliau itu memiliki modal finansial yang amat leluasa ya. Sepertinya  sudah tidak lagi memikirkan dapur.

Kata orang, "iri tanda tak mampu". Sepertinya ada benarnya juga ya :D . Sampai saat ini saya belum pasang baliho dan spanduk. Karena memang saya belum mampu buat baliho. Ada juga spanduk, cuma sebiji. Itu juga disumbang oleh caleg pusat. Ada juga yang disumbang dari DPD. Tool yang saya buat baru stiker dan brosur. 

Kebanyakan Caleg dari partai saya memang masih pusing mikir biaya sekolah anak-anaknya.  Masih berada dalam tahap "labil ekonomi".  Masih jauh dari memasuki tahap stabil ekonomi. Apalagi memiliki pasive income atau tabungannya yang tak habis dimakan orang se-kampung. (koq malah curhat ya?)

Pikiran seorang kader seringnya nyeletuk : “Andaikan dana itu untuk membangun sekolah dan memberi beasisiwa pendidikan, alangkah besar manfaatnya? Ini mah hanya untuk buat baliho yang kemudian hanya akan mengotori lingkungan”. Memang baliho besar itu seringnya menjadi sebuah ironi yang terpampang di depan mata. Apalagi kalau di bawah baliho besar itu ada anak yang sedang mengemis. Para kader PKS yang sudah terbiasa mengelola program sosial pelayanan ummat tentu tahu betul sulitnya membiayai program sosial. Lebih sulit daripada menggalang dana membangun masjid.

Ada seorang Caleg yang mungkin karena sudah beberapa kali pengalaman jadi Caleg dan tidak jadi-jadi, akhirnya lebih memilih jalan pintas, praktis dan mudah. Ia siapkan anggaran untuk bayar “tim sukes”. Membuat komitmen untuk meraup suara. Beri uang transport, dan kasih atribut kampanye. Sudah. Setelah itu tinggal tunggu hari pencoblosan. Ketika ditanya alasannya “Saya sudah capek kalau harus keliling-keliling, saya pake cara praktis saja. Pake uang yang ada buat bayar tim sukses. Karena kalaupun keliling door to door dan Direct Selling, seringkali kalah juga pas jelang pencoblosan. Masyarakat kita semakin susah dipegang. Apalagi kalau ada yg berani kasih uang”. 

Nah, sekarang saya mau pilih yang mana?  

Kalau hanya memakai logika politik, memilih politik transaksional adalah lumrah. Memilih kampanye melalui banner yang massif adalah masuk akal. Itu memang pilihan marketing.  Hanya satu pilihan dari berbagai cara. Tetapi akan lain halnya kalau kita berangkat dari prinsip dakwah. Bahwa momentum pemilu adalah sarana sangat efektif membuka komunikasi dengan masyarakat. Karena biasanya di luar pemilu semangat sosialisasi kita relatif melempem. Berbeda dengan saat pemilu datang, tiba-tiba semua potensi kader dikerahkan. 

Pilihan silaturahim langsung adalah pilihan khas dakwah. Dengannya tiba-tiba kita dihubungkan dengan orang yang tadinya tidak kita kenal. Berkomunikasi secara produktif. Tiba-tiba terjalin sinergi. Dari orang-orang yang baru kita kenal itu banyak diantaranya yang hanif. Potensial jadi kader dakwah. Sebagiannya cukup jadi simpatisan. Tidak masalah. 

Tetapi, pilihan silaturahim memang pilihan yang relatif lebih berat dibanding dengan hanya membentuk tim sukses dan hanya menungu hasil. Tetapi kalau kita telaah lebih jauh lagi. Perbedaan silaturahim dan membeli suara adalah dari sisi keutamaan. Dengan silaturahim insya Allah akan membuka pintu rizki, sifatnya investasi dunia dan akhirat. Adapun membeli suara adalah semata biaya. 

Jadi, pilihan untuk bersosialisasi dengan silaturahim langsung adalah konsekuensi kalau kita menyebut diri sebagai partai dakwah. Karena kalau memilih politik transaksional, apa beda dengan partai politik biasa?

Komentar

Postingan Populer