Bukan Kader Tapi PAHLAWAN

by : Nurul Hidayati, S.Pd.I
Ketua Bidpuan DPD PKS Kab. Karawang


Kalau saya merasa jadi kader karena rutin ikut halaqah pekanan, maka peran orang-orang ini mau tidak mau membuat saya merasa jadi keder. Merasa jadi manusia kerdil. Ketika saya merasa sudah berdakwah karena sekali-sekali mengisi taklim Ibu-Ibu dan anak remaja masjid di masjid dekat rumah, aktivitas orang-orang ini membuat saya memikirkan ulang klaim itu. Jangan-jangan saya memang belum berbuat apa-apa, atau hanya berbuat sedikit tapi merasa sudah merubah dunia. 

Saya mengenal nama Bu Dopi, tetangga satu RW. Ia adalah relawan Dinsos yang menangani para peserta jamkesmas. Semacam tenaga pendamping kalau di PNPM. Wilayahnya adalah Kecamatan Telukjambe Barat. Maka seringnya ia keliling di kecamatan itu untuk mendampingi mereka kaum dhuafa yang sakit saat membutuhkan pendampingan saat mengurus jamkesmas. Kadang harus menyelesaikan masalah saat si miskin tak memegang kartu jamkesmas. Maka ia harus mengurus aspek administrasinya hingga keluar kartu jamkesmas. Bahkan sering harus mengurusnya hingga di kamar inap rumah sakit.

Saat banjir melanda perumnas, saya ingat Bu Dopi yang ikut membantu keluarga saya evakuasi memakai perahu. Saat itu Uki, anak saya ke empat masih bayi. Dengan handphone yang dibungkus plastik agar tidak terkena air, ia sibuk berkoordinasi dengan relawan lain. Ia bersama Pak Sudarmawan, dari P2B LKS sibuk benar membantu para korban banjir waktu itu. Performance-nya benar-benar seorang relawan terlatih. 

Tokoh lainnya, saat blusukan mendampingi di Dapil 6. Saya bertamu ke rumah seorang ibu. Ia juga aktivis pendamping Limbasrangan dan PKK. Namanya Bu Ratna. Tapi ia biasa dipanggil Bu Lurah, padahal bukan istri Pak Lurah yang menjabat. Posisinya memang unik : ketua PKK Desa Belendung, Kec. Klari. Karena ia dipercaya di situ. Saya mendapat jawaban kenapa warga memberi julukan itu saat mendengar kiprahnya. Ia adalah aktivis majelis taklim, Posyandu dan pengurus PKK. Merintis PAUD di lingkungannya. Ia juga tenaga pendamping program Limbasrangan yang dari propinsi itu. Sehingga ia jarang ada di rumah karena aktivitasnya itu. 

Ada lagi Bu Nina, warga Perum Mustika Pratama, Cibalongsari-Klari. Ia adalah pionir majelis taklim. Sejak pesertanya hanya beberapa gelintir orang hingga sekarang sudah banyak diikuti warga.

Adalagi istri ketua DPC PKS Klari, Kang Kasno. Kalau di kota Karawang ada perintis sekolah IT hingga jadi sekolah favorit dan mahal. Mungkin “sahabat”nya ini layak dijadikan cermin. Merintis dari nol, TKIT-nya kini sudah berjalan dan jadi sekolah favorit di daerah situ, Perumahan Terangsari. Program sosialnya juga bisa berjalan. Anak yatim digratiskan, yang dhuafa bayar semampunya. Untuk mengatasi kekurangan dana , ia tutupi dari laba usaha yang dijalankan bersama akhwat di sana.

Terakhir saya sebut nama bu Hidayah, istri mantan Kepala Dusun di Desa Parungmulya, kec. Ciampel. Ia adalah aktivis majelis taklim dan pendamping PKK. Binaannya adalah warga leuweung. Ia biasa menyebut leuweung (hutan) untuk lokasi pemukiman yang terpencar di wilayah desanya yang berbukit bukit itu. Maka ia hampir setiap hari blusukan ke kantong pemukiman di leuweung itu untuk membina ibu-ibu di sana. Ada empat cluster leuweung yang ia bina dan lokasinya berjauhan. Sekarang ia berkeinginan merintis usaha bersama ibu-ibu di sana. Mencoba peruntungan usaha warung makan mengimbangi kebutuhan karyawan pabrik baru yang bermuculan di wilayahnya.

Mereka memang mendapat prioritas untuk dikunjungi. Karena mereka adalah simpul masa yang aktif. Melalui mereka akses ke pemilih bisa efisien dan efektif. Mereka buka tipe tokoh lokal yang sudah kadung besar dan "diorangkan" sehingga cenderung jual mahal dan pasif. Mereka benar-benar berjuang bersama masyarakat. Salah satu cirinya, rumah mereka biasanya sederhana. 

Ada banyak orang lain yang berbuat. Mereka berkesempatan sama untuk mendapat pahala dari Allah. Mereka layak mendapat surga-Nya. Amal-amal mereka nyata di jejaknya di masyarakat, walaupun mereka tidak tercatat di partai ini atau itu. Juga belum mengikuti program kaderisasi yang masif seperti di PKS. Mereka belum mengenal namanya halaqah tarbiyah.

Halaqah justru kadang membuat para kader terlena. Karena suasana halaqah memang suasana surga. Bisa dibilang halaqah adalah tempat yang amat nyaman di dunia. Kadang lebih nyaman dibanding saat di rumah. Di sana kita bertemu karena ukhuwah dan dalam kerangka mempererat ukhuwah. Bahkan rukunnya adalah rukun ukhuwah : ta’aruf, tafahum, takaful, talahum, itsar.

Tetapi tujuan halaqah bukan sekedar agar penghuninya merasa berada di surga. Tetapi ia sekaligus sebagai bengkel untuk menyiapkan penghuninya kembali siap berjalan berkeliling mencari "penumpang dakwah". Menjadikan para kader siap bertempur di lapangan dakwah. Berjalan dimuka bumi mencari karunia Allah. Maka kalau aktifitas kader hanya dari halaqah kemudian bertemu lagi di halaqah kita kudu bertanya, apa guna halaqah kalau hanya untuk dinikmati sendiri. 

Sepertinya kita wajib merenungi hikmah Rasulullah kembali ke bumi selepas mi’raj. Padahal ia sudah bertemu Allah. Padahal bertemu-Nya adalah capaian tertinggi seorang makhluk. Tapi Sang Utusan kemudian kembali ke dunia untuk berjuang hingga berdarah-darah dalam peperangan yang marathon.

Sekian

karawang 25092013

Komentar

Postingan Populer