Benarkah Kader PKS Selalu Gembira?
by : Admin NHC
Ini pertanyaan yang menggelitik memang. Tetapi
ketika saya coba mengurai jawaban atas pertanyaan ini, justru saya menemukan salah
satu rahasia terbesar warga PKS yang menjadikan mereka punya vitalitas untuk
terus bergerak dan bertahan hingga sekarang.
Jawaban itu secara kebetulan saya peroleh saat
menghadiri sebuah acara kader PKS pada hari Ahad, 3 Pebruari 2013. Hanya tiga
hari setelah penangkapan Ust. Luthi Hasan Ishaq oleh KPK. Ini adalah pertemuan
resmi pertama paska pergantian tampuk kepemimpinan PKS ke Anis Matta.
Kenapa saya “beruntung” bisa menghadiri pertemuan
itu? karena biasanya hari-hari berikutnya menjadi berubah arah. Ya, saat ini, PKS memang sedang mengalami ujian dalam bentuknya yang paling
canggih. Itulah pencitraan negatif. Inilah bentuk ujian dan serangan yang
dahsyat. Mengapa? Ustadz Luthfi masih tersangka. Belum dinyatakan bersalah. Tapi
karakter ustadz Luthfi sudah terbunuh dan citra PKS terjerembab hingga titik
nadir.
Di dunia politik modern, citra adalah pencapaian
penting. Intangible asset yang tak ternilai. Nilai ekonominya sebanding
dengan semua pengorbanan materi kader dari mulai berdiri PK hingga
sekarang. Di mata sebagian publik, Ust Luthfi dan PKS sepertinya sudah
tamat. Seperti ungkapan Ustad Yusuf Supendi : “ PKS akan hancur lebur dan....
punah!!”
Mungkin ada yang penasaran, suasana seperti apa yang
terbangun saat sebuah acara konsolidasi kader dan struktul PKS digelar di
tengah tsunami dahsyat efek meledaknya kasus Suap Impor Daging sapi yang
melibatkan Sang Presidennya? Apalagi
saat pemilukada Jawa Barat digelar tinggal tiga pekan lagi!
Sebelum sampai di lokasi, saya membayangkan
suasana para kader PKS itu akan seperti tubuh yang tidak lagi menginjak bumi. Karena
harapan mereka terampas. Optimisme akan seperti lelehan es yang mencair. Wajah-wajah
murung, sedih, galau, dan bingung dari kader dan pengurus yang
hadir. Hanya ada diam dan sunyi. Mencekam dan hening. Bermuram durja. Karena
apa yang menimpa qiyadah tentu akan dirasakan oleh kader. Karena merekan sudah
seperti satu tubuh. Pempimpinnya disakiti, tentu kaderpun akan merasa sakit.
Kalau Anda menduga seperti di atas, sepertinya
Anda kecele! Karena yang saya temui ternyata berbeda dari sangkaan orang.
Sekaligus membuktikan bagaimana canggihnya pengelolaan konflik a la PKS.
Setibanyan di Bandung, tepatnya di Hotel Mason
Pine, Kota Baru Parahyangan itu, saya
menjumpai suasana yang mengingatkan saya pada paparan Pak Dahlan Iskan saat
menggambarkan situasi deklarasi PK di Gor Pantjasila, Surabaya tahun 1999 lalu.
Ia gambarkan sebagai “lebih mirip seperti sebuah paroki dibanding acara sebuah
partai”.
Saya melihat yang hadir sebagian besar berbaju
putih bersih. Uniform khas PKS. Elegan dan menyejukkan. Wajah-wajahnya cerah
dan terlihat smart. Senyum bertebaran di mana-mana. Wajah bersihnya semakin
bercahaya karena siraman air wudlu. Menjumpai mereka, saya seperti bertemu
calon penghuni surga. Atmosfir keshalehan mereka memang begitu terasa.
Saat PK dulu mereka kebanyakan masih mahasiswa.
Kini kebanyakan sudah berkeluarga. Namun semangatnya tak berubah. Yang berbeda
memang tampilan fisik. Kalau saat mahasiswa dulu biasanya akrab benar dengan
bis kota, kini di sekitar lokasi penuh dengan mobil pribadi. Kader dakwah yang
terdidik itu kini mengisi kelas menengah baru. Hampir semua berkomunikasi
dengan hape. Sebagian besar sudah ber- BB ria. menjadikan komunikasi di antara
mereka begitu cepat.
Mereka adalah kader yang dipilih di DPD-nya
masing-masing. Karena tidak semua kader diundang. Terdiri dari para pengurus,
pejabat publik (anggota legislatif dan kepala daerah) dan para Pembina. Boleh
dikata yang hadir di situ adalah tulang punggung PKS. Di tangan merekalah
kerapihan bangunan PKS dirangkai, yang selama ini dipuji oleh pihak luar.
Melalui mereka kader-kader dibina di halaqah-halaqah tarbiyah di mana
langkah-langkah dakwah dieksekusi. Sehingga nilai-nilai yang didakwahkan tak
hanya jadi isu dan jargon. Tapi jadi realitas kehidupan.
Boleh saja orang skeptis kalau Islam ditampilkan
melalui platform partai politik, yang ada adalah politisasi Islam. Islam hanya
jadi jualan politik . Tapi, sepertinya itu hanya berlaku di organisasi partai
politik yang tak memiliki visi Islam yang jelas , organisasi yang kokoh, SDM
yang terekrut melalui instrumen kaderisasi yang kokoh. Nah, di PKS ini, sepertinya
semua terpenuhi.
Acara dimulai jam 9.00 pagi. Tidak langsung ke
acara inti. Peserta diisi oleh hiburan nasyid pop oleh dua orang kader muda.
Sepertinya masih mahasiswa. Suasananya jadi mirip halal bil halal. Penuh
keceriaan. Tak terasa saya mulai lupa dengan musibah Ust Luthfi.
Saat acara inti, yang kebagian tilawah adalah
Ustadz Ahmad Syaikhu. Wakil walikota Bekasi yang hafal Qur’an itu melantunkan
surah As-shaf begitu merdunya. Iramanya mirip ustadz Sofyan Nur yang waktu
kuliah dulu sering terdengar di acara tasmi’. Do’a dipimpin ustadz Abdul Jabar
Majid, ketuai Dewan Syariah Wilayah. Kemudian
sambutan Ustadz Tate Komarudin, Lc dan Ustadz Ma’mur Hasanudin.
Saat sambutan ustadz Tate inilah saya simak
dengan teliti. Karena suara beliau adalah suara para kader. Ternyata di situlah
saya “kecele”. Isi sambutannya tidak mencerminkan keadaan sedang gawat dan
genting. Justru rileks dan cair. Kabar gembira dan guyonan justru lebih
mendominasi. Seperti ingin membawa hadirin ke suasana yang santai. Dan,
berhasil!. Suasana di dalam benar-benar suasana yang normal.
Orasi Sang Presiden
Setelah usai ust Tate, giliran Sang Presiden Anis
Matta memberikan orasinya. Seperti biasa, ustadz satu ini memang selalu tampil
trendy. Busananya senantiasa enak dilihat. Membawa kesegaran dan optimisme bagi
yang melihatnya. Gagdet terkini biasanya selalu menemani Sang Presiden. Kali
ini ia ditemani sebuah tablet.
Hal yang paling saya tunggu memang pidatonya.
Selalu menggebrak penuh tenaga. Cerdas pilihan katanya. Senantiasa ada hal baru
yang ia sampaikan sehingga pesan yang disampaikan terasa segar dan aktual.
Biasanya ia menyitir Al Qur’an, hadits, sejarah dan kutipan sastra Arab dengan
fasihnya. Plus konteks ayat itu dalam tema yang ia bawakan. Efisien waktu yang
ia gunakan dan.... menghipnotis!
Dan, orasi Anis Matta memang membuat saya
dan hadirin terdiam. Saat Sang Presiden membuka orasi sampai dengan kalimat :
“Saya mencintai antum semua, Ikhwah fillah...! dan itu adalah cinta yang
tertinggi yang saya miliki kepada antum semua. Saya juga ingin menyampaikan
salam cinta dari pemimpin kita, ketua majelis syuro KH.Hilmi Aminudin, dan saya
juga ingin menyampaikan cinta dari saudara kita Ust Lutfi Hasan Ishaq.
Salam cinta inilah ikhwah sekalian yang menyatukan kita semua. Dan atas nama
cintalah kita terus menerus bergerak!”
Saya lihat kiri kanan banyak yang matanya basah. Mereka
rupanya merasakan cinta yang sama. Cinta seorang pemimpin kepada kader dan
dakwahnya. Dan, beberapa saat setelah itu, takbirpun mulai bersahutan merespon
setiap teriakan “Allau Akbar” dari Sang Presiden. Juga saat berkali kali “Sukarno
Muda” itu meneriakan : “Saatnya kita naik!” hingga bilangan sepuluh kali. Dan,
seperti biasa, Anis Matta selalu mengakhiri orasinya secara tiba-tiba.
Tak sekalipun saya lewatkan kata-demi kata yang
ia ungkapkan. Ketidakmampuan saya berbicara di podium memang memunculkan
kekaguman tersendiri pada sosok seorang orator. Terutama bagi saya
yang dominan otak kanan yang bila berbicara seringnya ngelantur ke sana ke
mari. Tidak sistematis dan tidak efisien.
Tak salah memang kalau Anis Matta dijuluki
Soekarno muda. Beberapa klip videonya bisa dicari di Youtube. Silakan bandingkan
dengan pidato Bung Karno yang juga ada di Youtube. Kualitas pidato Ust Anis
memang di atas rata-rata. Bedanya, kalau Bung Karno lebih terinspirasi tokoh
dunia seperti Karl Marx, Kemal Ataturk, atau Adolf Hitler, maka Anis Matta
lebih banyak menyitir Al Qur’an, Hadits dan khazanah sejarah Islam.
Ustadz-Ustadz yang Berjiwa Seni
Selanjutnya adalah sesi performance nasyid. Satu
yang saya kagumi dari ustadz-ustadz di Bandung ini adalah banyak ustadz yang
“nyeni”. Grup Nasyid Shoutul Harokah adalah kumpulan Ustadz yang tidak lagi
muda. Tapi jiwa seninya tidak luntur dimakan usia. Ustad Hilman Rosyad masih
bisa jingkrak-jingkrak. Ustadz Taufik Ridho yang kini jadi Sekjen PKS
menggantikan Anis Matta juga tampil sebagai munsyid. Ia tak memberi
sambutan sepatah katapun. Hanya membacakan puisi sebelum membawakan
nasyid terbaru bertajuk “Hadapilah”.
Lirik Nasyidnya begitu pas dengan suasana saat
ini. Nasyid ini adalah karya Ustadz Tate Komarudin, Lc ketua DPW PKS Jawa
Barat. Saya bertanya-tanya, kapan ustadz-uztadz ini menciptakan lirik dan irama
yang indah, dan latihan nasyid ya? Padahal mereka orang-orang super
sibuk. Saya jadi punya kekaguman khusus terhadap beliau-beliau ini.
Selanjutnya nasyid hit seperti Gelombang
Keadilan, Harapan itu masih ada, Bekerja Untuk Indonesia bergantian memeriahkan
suasana. Membakar semangat. Juga menghibur. Sekali lagi, ini tidak mencerminkan
bahwa mereka sedang didera masalah super besar.
Saya akhirnya menemukan jawabannya dari pidato
Anis Matta di Jogjakarta, katanya, salah satu yang tidak boleh hilang adalah
suasana kebahagiaan. Dalam kondisi apapun. Maka tak heran kalau roadshow Anis
Matta ke berbagai daerah selalu diliputi kegembiraan.
Shalat dzuhur tiba. Seperti biasa, kerumunan
manusia itu segera berpindah ke masjid. Masjid Al Irsyad yang
berarsitektur antik dan unik itu mendadak penuh kader PKS yang bersimpuh ruku
dan sujud. Masjid itu bentuknya kotak. Ornamen dinding bagian luar membentuk
kalimat laa ilaha ilallah. Di dalam ruangan ada kolam dangkal persis di depan
tempat imam. Lengkap dengan ikannya. Di ujung kolam ada bola besar bertuliskan
Allah. Dibuat seperti mengambang di atas kolam. Masjid itu adalah Karya
Ridwan Kamil, yang kemudian terpilih sebagai Walikota Bandung yang disusung
PKS.
Sesi kedua, ternyata Anis Matta kembali tampil
memberi arahan. Namun karena tidak diliput media, gaya bicaranya lebih santai.
Arahan ini memang hanya untuk kader. Tapi kembali saya menikmati komunikasi
verbal Anis Matta yang segar dan inspiratif itu. Rupanya ia sudah mampu
melakukan komunikasi ala seorang pemimpin besar. Ia memang pernah menyampaikan
statemen bahwa “Seorang pemimpin besar haruslah orator ulung dan penulis yang
memukau, mutlak, jika tidak, ia tidak akan abadi”. Dan ia sudah mampu
menghimpun keduanya.
Akhirnya, ahlan wa sahlan ustadz Anis, selamat
datang Sang Pemimpin. Saya yakin para kader PKS akan sangat menikmati hari demi
hari dipimpin oleh seorang yang memang pantas jadi pemimpin besar. *NHC : Nurul Hidayati Center
Komentar
Posting Komentar