Menggagas Gerakan Keluarga Berkualitas
Oleh : Nurul Hidayati, S.Pd.I
Ketua Bidang Perempuan DPD PKS Karawang
Antara percaya dan tidak, inilah fakta dan
berita yang bersumber dari berbagai media. Bahwa tren perceraian di Indonesia
meningkat dari tahun ketahun. Data lain menunjukkan bahwa dari 2 juta pernikahan setiap tahun,
ada 200 ribuan yang bercerai (10%). Dari
angka tersebut, masalah ekonomi (suami tidak bisa menafkahi) adalah paling
banyak penyebab perceraian. Kemudian disusul oleh ketidakharmonisan pasutri. Lalu
perselingkuhan. Fakta lain, 70 % yang
menggugat cerai adalah Isteri. Data ini dikumpulkan dari beberapa sumber:
Kompas.com, Detik.com, Vivanews.com, Suara Karya, serta Antara.
Kenapa saya menulis di awal dengan “antara percaya dan tidak”? karena keluarga
sahabat-sahabat di sekeliling saya yang ada justeru keluarga-keluarga yang nampak sekali
kebahagiaannya. Keluarga yang berlimpah kasih sayang. Keluarga surga. Dimana
penghuninya menjadikan keluarga adalah tempat beribadah. Meraih keridloan Sang
Khaliq.
Mereka adalah keluarga yang beberapa diantaranya saya kenal betul
saat awal membangunnya. Berangkat dari niat ibadah. Menyatunya tidak sekedar
karena dorongan biologis. Tapi lebih dari itu. Pandangannya hingga ke akhirat.
Meraih surga. Maka kriteria saat memilih pasanganpun adalah agama dan akhlak,
tak sekedar tampilan fisik.
Di sekeliling saya adalah potret keluarga yang
diimpikan oleh para orang tua dahulu. Dimana mereka sempat khawatir dengan masa
depan keluarga anak-anaknya. Karena merekapun saya jumpai banyak yang merasa
kesulitan mengarahkan putra putrinya. Banyak
yang tidak sesuai gambaran ideal. Menikah setelah pacaran berlama-lama, misalnya.
Diantaranya sudah dirasa wajar kalau melalui MBA (Married by Accident), atau hamil sebelum nikah. Na’udzubillah. Setelah itu, beberapa diantaranya bercerai. Sungguh
sebuah gambaan yang jauh dari ideal. Tidak layak ditauladani.
Saya justru dikelilingi oleh keluarga yang
menjadikan pasangannya adalah bagai pakaian. Menjadi pelindung satu sama lain.
Penghias satu sama lain. Pelengkap satu sama lain. Meneriman pasangan apa-adanya
dan menjadikan kekurangan pasangannya sebagai peluang amal sholeh.
Keluarga sahabat-sahabat di sekeliling saya
adalah keluarga madrasah. Tempat penghuninya meningkatkan kemampuan diri.
Semakin pintar. Semakin berdaya. Semakin berkembang potensi diri. Semua
penghuninya saling bersinergi. Saling menguatkan.
Keluarga kawan-kawan di sekililing saya adalah
keluarga masjid. Menjadikan rumahnya tempat beribadah. Mendekatkan diri pada Sang Khaliq. Penuh lantunan ayat suci.
Suasananya adalah suasanya sakinah. Kata-kata yang keluar adalah kata-kata
mengandung hikmah, bermanfaat. Jauh dari caci maki. Jauh dari lisan yang
melukai.
Rumah kawan-kawan saya adalah rumah surga. Tempat istirahat dari
segala kepenatan. Tempat segala kegalauan meluruh dan menguap. Tempat gelisah
hanyut terbawa suasana kedamaian. Karena selalu ada solusi. Karena segala
solusinya berawal dari kasih sayang itu. Keluarga saudara-saudara seiman itu memang tak
jadikan kekurangan yang ada jadi penghambat kebahagiaan.
Saya kenal ada satu keluarga yang lama sekali mendambakan putra. Habis biaya ke sana kemari untuk berikhtiar. Berusaha dan berusaha. Tapi tak ada pikiran sama sekali untuk berpisah. Hingga akhirnya Allah kabulkan do’anya. Merekapun punya momongan. Semakin berbahagialah mereka dengan karunia itu.
Saya kenal ada satu keluarga yang lama sekali mendambakan putra. Habis biaya ke sana kemari untuk berikhtiar. Berusaha dan berusaha. Tapi tak ada pikiran sama sekali untuk berpisah. Hingga akhirnya Allah kabulkan do’anya. Merekapun punya momongan. Semakin berbahagialah mereka dengan karunia itu.
Sahabat saya yang lain ada yang hingga kini belum dikarunia
keturunan, tapi kesetiaannnya tak luntur. Mereka abdikan hidupnya untuk
mendidik anak-anak keluarga sahabatnya. Menjadi guru.
Tetangga saya ada keluarga , juga tak dikarunia
anak. Pasangan itu mengambil anak angkat seorang anak berkebutuhan khusus.
Mereka sayangi dengan luar biasa. Seperti ke anak kandung sendiri. Tetangga agak jauh lagi, malah bersedia dititipi
bayi merah yang baru lahir. Merekapun merawatnya dengan penuh kasih. Sementara
keadaan ekonominya sederhana saja. Tapi itu tak meluruhkan kebahagiaan. Mereka
justru semakin aktif dalam kegiatan agama.
Tak sesuai kabar di awal tulisan di atas, masalah ekonomi ternyata tak selamanya jadi alasan
untuk broken, pertengkaran, bermasalah dengan pendidikan anak, atau bahkan
perceraian. Diantara sahabat saya ada yang berangkat dari ekonomi yang
pas-pasan. Mereka berjuang berdua. Bahu membahu. Berjualan sayur keliling. Kompak sekali
mereka berdua. Romantis betul, bukan? Sayapun kadang iri dibuatnya.
Keluarga sahabat-sahabat saya hampir semuanya
menjadikan rumahnya sebagai madrasah.
Mereka berupaya betul mendidik putra-putrinya. Kadang agak memaksakan diri memasukan ke sekolah
swasta yang mahal. Demi kualitas generasi mendatang, katanya. Mereka ingin
lingkungan sekolah yang Islami dan guru-guru penyayang yang jadi tauladan akhlak Islami. Tak sekedar
baca tulis dan hitung. Merekapun menyempatkan membaca dan pelajari parenting, pola asuh yang benar. Mereka
sempatkan ikut kajian keluarga.
Keluarga sahabat-sahabat saya adalah keluarga
dakwah. Keberadaanya tak sekedar untuk
keluarganya. Tapi hidup bermanfaat untuk orang lain. Di tengah kesibukannya mereka masih menyempatkan
diri membina pengajian. Menyelengarakan bakti sosial. Sesekali turut menggalang
dana untuk Palestina. Negeri muslim nun jauh yang sedang berjuang raih
kemerdekaannya.
Maka saya heran dengan fakta dan berita di awal
tulisan di atas. Benarkah?
Tetapi,
kalau memang itu bersumber berita dan hasil survey, saya harus
mempercayainya. Artinya diluar sana bahaya tengah menghadang. Siap mengancam
keluarga-keluarga kita.
Apa jadinya kalau keluarga kita porak poranda?
Bangunan masyarakat seperti apa kelak yang akan terbangun bila keluarga sudah
berantakan? Sungguh bangsa ini yang dikenal peramah, gotong- royong, dan religius
sedang terancam keberadaaannya. Menjadi individual, hedonis (yang penting
senang), dan permisif (serba boleh).
Secara sekilas contoh di lingkungan kita memang
sudah terlihat tanda-tandanya. Sudah jamak terlihat anak-anak yang dibebaskan
bergaul tanpa batas antara muhrim dan bukan muhrim. Anak perempuan yang
dibiarkan keluyuran hingga malam
hari. Anak-anak kecil yang dibiarkan mengakses internet, televisi dan hape tanpa batas. Bermain game tanpa kenal
waktu hingga larut malam. Tak peduli
adzan yang memanggil saat masuk waktu shalat. Busana anak-anak yang semakin terbuka. Pertanda tak dikenalkan konsep aurat. Lihatlah
suasana malam minggu di sekitar Mall. Niscaya Anda akan mengelus dada dengan
hedonisme dan permisifisme yang kini jadi falsafah hidup anak-anak remaja kita.
Di dalam rumah-rumah mereka bisa jadi indikasi itu ada benarnya.
Saya memang tidak melihatnya langsung, karena ada dinding aurat keluarga yang harus dijaga. Tapi, berita dan
fakta di atas seperti membenarkan kekhawatiran saya. Bahwa keluarga-keluarga
anak bangsa ini sudah terancam.
Lalu,
apakah kita tinggal diam saja? Hanya meratapi dengan keprihatan?
Kata orang bijak, “dari pada meratapi
kegelapan, lebih baik nyalakan sebatang lilin”.
Kabar baiknya, sahabat-sahabat saya yang sudah menikmati suasana surga
di atas ternyatatak mau tinggal diam. Tak mau hanya menikmatinya sendiri .
Mereka ingin berbagi. Kini sudah ada himpunan keluarga yang mau saling
menguatkan. Tujuannya agar semua keluarga
memiliki ketahanan keluarga. Agar
keluarga semakin berkualitas. Tak sekedar kumpulan manusia yang diikat dengan
janji perkawinan. Nama himpunan itu
adalah RUMAH KELUARGA INDONESIA atau
RKI. Di mana salah satu tujuannya
adalah “mendorong terbentuknya
keluarga-keluarga yang kokoh dan harmonis dengan memberikan pengetahuan dan
keterampilan kepada keluarga Indonesia”
Lalu,
apa yang bisa kita lakukan sekarang?
Menjadi baik untuk diri sendiri ternyata tidak
cukup! Pilihannya hanya dua: jadilah
penggerak keluarga berkualitas atau bergabunglah
bersama keluarga-keluarga yang berkualitas itu. Domba yang sendiri memang gampang disergap serigala!
Sekarang, dengan tantangan yang semakin berat di atas, keberadaan komunitas yang peduli keluarga adalah kebutuhan mendesak. Karena berangkat dari keluarga berkualitas itulah, niscaya bangsa yang kita cintai ini akan menjadi bangsa yang berkualitas.
Sekarang, dengan tantangan yang semakin berat di atas, keberadaan komunitas yang peduli keluarga adalah kebutuhan mendesak. Karena berangkat dari keluarga berkualitas itulah, niscaya bangsa yang kita cintai ini akan menjadi bangsa yang berkualitas.
Siapkah Anda?
Komentar
Posting Komentar